Kamis, 09 Agustus 2007

Mbako Tingwe

HEMAT & NIKMAT NGROKOK TINGWE... , NGAPA TIDAK?


Merokok? ….enak tenaaan! Itu kata mereka yang nggebis, termasuk saya. Kita para penggebis mampu menghabiskan 30 hingga 40 batang rokok sehari. Sungguh percuma menghimbau kita untuk berhenti merokok. Walau ditatar dengan 1001 macam fakta soal bahaya merokok masih saja kita klepas-klepus ngrokok. Abis enak sih! Begitu alasan kita tanpa penjabaran lebih jauh. Waton ngeyel memang, tapi ya seperti itulah sikap lebih dari 140 juta pecandu rokok seperti kita di Indonesia.

Kelompok PKB (perokok kelas berat) dengan jutaan umat itu jelas kemudian menjadi sasaran empuk, dimangsa oleh pihak tertentu. Kita diiming-imingi, diumpan, dipancing dan dibanjiri dengan produk rokok siap sumet. Iklannya gencar di sembarang acara dan tempat. Distribusinya menohok dari pedagang grosir hingga asongan. Dijual dalam partai besar hingga ketengan. Yang diharapkan dari kegiatan itu adalah meningkatnya jumlah perokok dan jumlah konsumsi rokok. Ujung-ujungnya tentu saja duit, suatu keuntungan yang besar sa’ hohah.

Umpan itu terbukti mempan. Tahun demi tahun permintaan meningkat dari sekitar 100 milyar batang pada tahun 1985 menjadi 220 milyar di tahun 2005. Perokok pemula di Indonesia tercatat tumbuh paling pesat sedunia yakni 44% usia 10 – 19 tahun dan 37% usia 20 – 29 tahun. Bisnis rokok di dalam negeri telah berkembang dari sekedar industri rumahan menjadi meraksasa.

Ironisnya, meskipun banyak yang terlibat, yakni para petani tembakau, petani cengkeh, buruh, pemerintah, pengusaha, industri kertas, industri jasa, dan produsen teknologi, namun sejumlah besar keuntungan justru dinikmati hanya oleh segelintir orang saja, bukan oleh sejibun petani serta para buruhnya. Para buruh linting boro-boro menjadi sejahtera, mereka kini bahkan lagi ketar-ketir memikirkan hari-hari mendatang.

Hanya segelintir yang selama ini girang-girang dan bersorak gembira tanpa beban tanggung jawab, menikmati laba nyata. Dia adalah sang toke, sang pengusaha rokok. Mana pernah mereka beraksi sosial tanpa berpromosi? Mana mereka peduli dengan kesehatan pelanggan? Buktinya mereka masih saja memproduksi dan menjual rokok kretek tanpa filter, tanpa pengaman minimum. Ahhh….

Tak perlu kalap! Dalam keadaan waras, kita para penggebis tahu persis bahwa harga yang kita bayar untuk menikmati rokok sungguh timpang, sangat tidak seimbang. Harga rokok mahal, bahkan bisa lebih mahal ketimbang ongkos makan siang kita di Warung Tegal, sebab tetek-bengek biaya melekat pada rokok itu. Diantaranya adalah biaya promosi, biaya distribusi, biaya kemasan, cukai dsb. Harga pokok produksi paling cuma makan ongkos 10 persen saja.

Andai kita mau melinting sendiri, membuat rokok tingwe alias nglinting dewe, kita akan menghemat anggaran belanja rokok hingga 80 persen lebih. Biaya yang kita pangkas adalah, biaya linting, biaya overhead pabrik, biaya kemasan, biaya iklan, biaya distribusi, biaya administrasi, biaya umum dan lain-lain. Perjalanan tembakau dipersingkat. Setelah tembakau diracik dan dikenakan cukai, tembakau tidak dilinting, dikemas dan diedarkan oleh pabrik rokok, tapi langsung dihadirkan ke kita untuk kita linting dewe melalui jaringan warung tembakau rokok tingwe.

Angka 80 persen penghematan adalah angka yang sangat lumayan, bisa buat jajan bocah, nambah gizi atau untuk keperluan lain. Bayangkan, jatah rokok sehari bisa kita pakai untuk lima hari dengan cara merokok tingwe.

Bayangkan juga, seorang perokok kemasan yang beralih ke rokok tingwe akan menghemat pengeluaran untuk rokok sebesar 80% dari misalnya Rp 10.000,- per hari. Sebulan akan menghemat paling tidak sebesar Rp 240.000,- Setahun mencapai hampir Rp 3 juta. Itu baru penghematan yang didapat dari satu orang saja untuk waktu setahun. Berapa nilai penghematan ketika ada sepuluh, seratus, seribu, sejuta atau lebih banyak lagi perokok tingwe untuk waktu puluhan tahun mendatang? Jawabnya adalah…., sejahtera bagi kita semua. Berhenti merokok, pastilah sulit. Tapi berhemat…., kita pasti bisa. Jadi, Yuk berhemat!

Lagian, membuat rokok tingwe sangat gampang. Modalnya tembakau, papir, filter, lem, dan alat linting. Caranya tidak jauh berbeda dengan cara mengirim SMS via handphone, pakai jari dan jempol. Hasilnya tidak kalah dengan lintingan pabrik. Bahkan rasa dan modelnya bisa kita atur sesuai selera, malah bisa pakai filter segala. Mau empuk ginuk-ginuk ataupun sekel-padet, mau merit-langsing ataupun gendut-ndut, mau aroma cappuccino atau aroma apapun terserah kita. Pengin rokok warna warni bak pelangi…, itu juga bisa. Gampang diatur!

Nyari tembakau dimana? Jangan bingung. Di Jakarta dan Jogya ada tempat khusus yang menyediakan aneka keperluan nglinting seperti Tembakau Rokok Aneka Rasa, Alat Linting, Papir, Filter, Lem, Cengkeh, Asesoris Rokok dan sebagainya. Di sana kita bisa memilih tembakau aneka rasa, serasa rokok merek-merek terkenal. Kita juga akan diajari nglinting. Sembari belajar nglinting kita akan disuguhi kopi…, gratis.

Lur manuk, ritual merokok tingwe mengingatkan kita akan kota Jogya, akan de Britto tempo doeloe. Mengingatkan tidak hanya pada sosok Tong Jit, tapi juga pada pak Mantri, pak guru nggambar merangkap juru supit yang hobi nglinting. Diingatkan pula kita pada roro Mendut, sosok ayu yang bahenol dan anunya mendut-mendut, yang merokok pas-pus sambil bibirnya klamut-klamut.

Lur, selagi waras silahkan obong-obong congor. Wis, udhuto sak kemenge. Nek rokoke wis kemeng…,njur tak udhute! Kata roro Mendut sambil cekikikan menggoda.

Oleh: Yo. Prihardianto

Tidak ada komentar: